Rabu, 30 November 2011

Hamil adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, Bagaimana menunyusui saat Hamil?y


Memberikan yang terbaik untuk anak adalah impian setiap orang tua, termasuk dalam memberikan makanan. Dan kita tahu bersama bahwa ASI akan tetap memberikan zat-zat yang baik bahkan sampai anak berusia dua tahun atau lebih, sesuai rekomendasi Badan Kesehatan Dunia, serta telah disebutkan juga di dalam al Quran sebelum WHO. Ketika ada suatu keadaan yang mungkin berpengaruh atau memiliki dampak terhadap proses menyusui, atau justru jika kita tidak tahu efek keadaan tersebut, tentu kita merasa khawatir.
Masa menyusui yang berbarengan dengan masa kehamilan anak berikutnya, adalah contoh salah satu keadaan yang sering menimbulkan kekhawatiran ini. Sehingga kemudian seringkali timbul pertanyaan, bisakah saya menyusui sewaktu hamil? Secara umum,jawaban dari pertanyaan ini adalah YA, seorang ibu tetap dapat menyusui anaknya meskipun sedang hamil anak yang berikutnya. 
Begitu mendengar jawaban ini, pasti langsung muncul beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan janin;


1. Khawatir keguguran
Proses menyusui melibatkan hormon oksitosin yang akan menyebabkan kontraksi pada payudara dan rahim. Namun tingkat kontraksi dari hormon oksitosin ini tidak memiliki dampak yang terlalu besar pada rahim selama hamil, tidak sampai pada tingkatan bisa menyebabkan kelahiran bayi, kecuali jika waktu melahirkan sudah mendekati harinya atau ada hal-hal lain yang berpengaruh. Kontraksi rahim ini dapat dibandingkan dengan kontraksi yang terjadi pula pada saat berhubungan sex. Hubungan sex akan menyebabkan rahim berkontraksi, namun sex tidak serta-merta dihentikan ketika ibu sedang hamil.

2. Kebutuhan nutrisi
Asupan makanan dengan kandungan protein dan karbohidrat yang lebih tinggi dibutuhkan seorang ibu yang hamil dan menyusui, karena keadaan ini memang memerlukan tambahan tenaga. Disarankan untuk makan-makanan alami dalam pemenuhan kebutuhan ini.

3. Produksi ASI
Setelah beberapa bulan, produksi ASI biasanya akan berkurang, ini berhubungan dengan semakin meningkatnya kadar hormon estrogen di dalam tubuh, dan hal ini memang alamiah. Rasa ASI mungkin berubah, namun tidak selalu, dan bayi mungkin akan menyapih dirinya sendiri. Selama berada di dalam tubuh, ASI tidak akan pernah basi.

4. Kondisi ibu secara umum
Menyusui atau hamil saja sudah pasti akan membuat ibu merasa lelah, apalagi jika keduanya terjadi secara bersamaan. Jika seorang ibu menyusui merasa kelelahan, maka hal ini dapat mengurangi jumlah ASI yang dikeluarkannya. Jadi solusinya adalah cukup istirahat dan cukup mengonsumsi makanan bergizi, jika mungkin usahakan yang alamiah.

5. Kondisi payudara
Ketika hamil, sensitifitas pada daerah payudara meningkat, sehingga ibu akan lebih mudah merasa nyeri ketika menyusui saat hamil, dibanding jika tidak sedang hamil.

6. Bagaimana dengan kondisi saya?
Setiap orang memiliki kondisi tubuh dan kesehatan yang berbeda. Informasi yang disampaikan di sini hanya pada keadaan normal-wajar. Jika ada pertimbangan kesehatan khusus, misalnya punya riwayat keguguran yang sering, sudah lama menikah namun belum juga dikaruniai anak, kontraksi rahim berlebihan ketika menyusui, atau keadaan yang lain, sebaiknya tetap didiskusikan dengan dokter anda.
http://republika.co.id

Selasa, 29 November 2011

HIV/AIDS: Neuropsychiatric Disease


Rudolf J. Kotula, MD

Private Practice in Infectious Diseases
Methodist Hospital
, Omaha, Nebraska

Peer Review Status: Externally Peer Reviewed by Mosby

  1. General. About 60% of individuals with AIDS have some neuropsychiatric manifestations of the illness. This may be because macrophages and monocytes carry the HIV into the CNS. The virus may also gain direct access because many CNS components are CD4+. It is critical to ascertain that neurologic manifestations are not attributable to infectious causes (other than HIV) or CNS lymphoma before attributing symptoms to the direct effects of the AIDS virus. Individuals with AIDS or HIV infection are undergoing a major stress, and psychologic support is critical to the successful management of their illness. Drug therapies are helpful, but social and psychologic support is important to their overall care.
  2. Terminology. Subacute encephalitis (AIDS encephalopathy, AIDS dementia complex).
    1. Defined by progressive dementia, psychomotor retardation, focal motor abnormalities, behavioral changes, and short-term memory deficits.
    2. May manifest headache with problems of coordination, apathy, and affective blunting. Later manifestations include inappropriate behavior, emotional lability, seizures, aphasia, and psychotic manifestations.
    3. Advanced cases develop global cognitive deterioration, incontinence, sensory loss, and visual disturbances.
    4. 75% of AIDS patients manifest these symptoms, but 90% show pathologic changes on autopsy.
  3. Testing.
    1. Useful tests include the Symbol Digit Modalities Test and Parts A & B of the Trail Making Test, which test psychomotor function. A newly developed screening instrument, the HIV Dementia Scale, is a reliable and quantitative scale superior to the Minimental Status Exam and the Grooved Pegboard in identifying HIV dementia.
    2. Double-dose contrast-enhanced CT alone cannot provide a definitive diagnosis. The most common abnormality reported on CT scans of these patients is cerebral atrophy. Radiographically, MRI is best at demonstrating degeneration. The most common white matter lesions are diffuse over a wide area, typically in the centrum semiovale and periventricular white matter. Less commonly, there is localized involvement with patchy or punctate lesions.
    3. In atypical aseptic meningitis, there is an increase in the ICP and in the CSF mononuclear pleocytosis, multinucleated giant cells, protein content, and oligoclonal bands.
    4. EEG is not particularly helpful.
  4. Differential diagnosis of neuropsychiatric disorders in HIV disease once one has excluded infectious and other medical causes.
    1. Most common are affective disorders.
    2. Dementia.
      1. Responds to some degree to high doses of ARV therapy (especially AZT).
      2. Some experimental agents are being investigated to treat AIDS dementia, including nimodipine, pentoxyphylline, memantine, delavirdine and peptide-T.
        1. Do not use in patients with florid psychosis.
        2. Document changes with tests noted above.
    3. Agitation secondary to delirium may be treated by lorazepam 0.5 mg IV slow push.
    4. Treat psychotic symptoms with haloperidol 0.5 to 1 mg PO QID.
    5. Depression can be treated with standard antidepressants. Some patients respond rapidly to methylphenidate 5mg Q AM up to 20-60 mg divided TID. Patients may be sensitive to anticholinergic side effects late in HIV illness. MAO inhibitors are contraindicated.
    6. AIDS patients can get a manic syndrome related to the use of ganciclovir, zidovudine, and fluoxetine, which may respond to lithium. Treat agitation as above.
    7. Anxiety can be treated with standard drugs. See Chapter 18.
Next Page | Previous Page | Section Top | Title Page
University of Iowa Family Practice Handbook, Fourth Edition, Chapter 11

HIV/AIDS: Dermatologic Manifestations

Rudolf J. Kotula, MD
Private Practice in Infectious Diseases
Methodist Hospital
, Omaha, Nebraska

Peer Review Status: Externally Peer Reviewed by Mosby

  1. Cutaneous Infections.
    1. Viral. Herpesviruses produce disseminated, extensive, or chronic herpetic ulcers. Treat with acyclovir 400 mg PO 5 x a day or 5 mg/kg IV Q8h x 7 to 14 days if severe. Maintenance dose acyclovir 400 mg PO BID.
    2. Fungal.
      1. Dermatophytosis (tinea) by fungi of the genera Trichophyton, Microsporum, and Epidermophyton. For treatment, see Chapter 17.
      2. Yeasts and mucosal candidiasis. Treat with systemic antifungals (see section on candidiasis above).
      3. Rarely: histoplasmosis and cryptococcosis.
    3. Bacterial.
      1. Bacterial folliculitis, impetigo. For treatment, see Chapter 17.
        1. Mycobacteriosis. Treatment involves systemic antibiotics; see previous section on Mycobacterium.
        2. Bacillary angiomatosis. Treat with erythromycin 250 to 500 mg PO QID until lesions resolve or doxycycline 100 mg PO BID.
  2. Cutaneous Neoplasms
    1. Kaposi’s sarcoma. Human herpes virus-8 (HHV-8) has been implicated as the probable agent of this skin neoplasm. Clinically appear as purplish macules, papules, plaques, nodules, tumors. Histopathologic analysis reveals immunostain to type IV collagen. Therapy includes observation, cryotherapy, laser surgery, excisional surgery, radiation therapy or systemic chemotherapy. Anecdotal reports of remissions have been reported with foscarnet.
    2. Lymphoma cutis. Skin is rarely involved, usually B cell in origin.
    3. Possible increased incidence of melanoma, basal cell carcinoma, and squamous cell carcinoma
    4. Oral hairy leukoplakia. Well-demarcated verrucous plaque with an irregular, corrugated, or hairy surface, most commonly on the lateral or inferior surface of the tongue, or on the buccal and soft palatal mucosa.
  3. Inflammatory Dermatitides
    1. Seborrheic dermatitis, psoriasis, eczematous dermatitis, and folliculitis. See Chapter 17 for treatment options. Avoid the use of methotrexate.
    2. Pruritus, prurigo, eosinophilic folliculitis.
      1. Extremely common and extremely debilitating with 3 to 5 mm edematous, follicular papules, and pustules.
      2. Treatment is often unsatisfactory. Antihistamines, potent topical fluorinated corticosteroids (such as clobetasol propionate BID), photo-therapy with natural sunlight or UVB radiation.
Cutaneous eruption of HIV. Presents as erythematous non-pruritic macules soon after infection.



Sumberhttp:// www.vh.org/

HIV AIDS dan pencegahannya Bro..


Apakah HIV itu ?
HIV, yang merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus adalah Virus penyebab AIDS
  • HIV terdapat di dalam cairan tubuh seseorang yang telah terinfeksi seperti di dalam darah, air mani atau cairan vagina
  • Sebelum HIV berubah menjadi AIDS, penderitanya akan tampak sehat dalam waktu kira-kira 5 sampai 10 tahun.
  • Walaupun tampak sehat, mereka dapat menularkan HIV pada orang lain melalui hubungan seks yang tidak aman, tranfusi darah atau pemakaian jarum suntik secara bergantian.
Bagaimana HIV ditularkan ?
HIV dapat ditularkan melalui 3 cara, yaitu :
  • Hubungan seks (anal, oral, vaginal) yang tidak terlindungi dengan orang yang telah terinfeksi HIV.
  • Transfusi darat atau penggunaan jarum suntik secara bergantian.
  • Melalui Alat Suntik.

Apa Gejala AIDS
  • Merasa kelelahan yang berkepanjangan
  • Deman dan berkeringat pada malam hari tanpa sebab yang jelas.
  • Batuk yang tidak sembuh-sembuh disertai sesak nafas yang berkepanjangan.
  • Diare/mencret terus-menerus selama 1 bulan
  • Bintik-bintik berwarna keungu-unguan yang tidak biasa
  • Berat badan menurun secara drastis lebih dari 10% tanpa alasan yang jelas dalam 1 bulan.
  • Pembesaran kelenjar secara menyeluruh di leher dan lipatan paha.
TES HIV
Orang yang terinfeksi HIV tidak dapat diketahui dari penampilan fisiknya saja karena orang tersebut terlihat seperti orang sehat lainnya. Jadi, untuk menentukan seseorang terinfeksi HIV atau tidak harus dilakukan pemeriksaan darah.
Pemeriksaan darah bertujuan untuk mendeteksi ada atau tidaknya anti bodi HIV di dalam darah. Antibodi HIV ini dihasilkan oleh tubuh sebagai reaksi system kekebalan tubuh terhadap infeksi HIV. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini lebih tepat disebut "Tes Antibodi HIV" bukan tes AIDS.
Perlukan Tes HIV ?
Jika anda merasa memiliki kemungkinan terinfeksi HIV, maka sebaiknya segera memeriksakan diri. Hal ini penting untuk memastikan status anda. Jika anda positif, dapat segera dilakukan perawatan kesehatan lebih lanjut yang intensif agar dapat menjaga kondisi dan mencegah penularan kepada orang lain.
Apa yang tidak menularkan HIV ?
HIV tidak akan menular melaui :
  • Bersin
  • Ciuman pipi
  • Kolam renang
  • Berbagi makanan dan menggunakan alat makan bersama
  • Bergandengan tangan
  • Gigitan nyamuk

TIPS Melindungi Diri Dari HIV/AIDS

  • Jangan melakukan hubungan sesk dengan pasangan yang anda tidak ketahui kondisi kesehatannya.
  • Hindari berganti-ganti pasangan seksual.
  • Gunakanlah kondom dalam melakukan hubungan seks, jika salah satu atau keduanya terinfeksi HIV
  • Jika membutuhkan transfusi darah, mintalah kepastian bahwa darah yang akan diterima bebas HIV
  • Gunakan alat suntik sekali pakai
  • Hindari mabuk-mabukan dan narkotik yang membuat Anda lupa diri
Pencegahan Penularan HIV AIDS :
  • Menghindari hubungan seks di luar nikah
  • Pemakaian kondom pada mereka yang mempunyai pasangan HIV positif
  • Menggunakan jarum suntuk dan alat tusuk lainnya yg terjamin sterilitasnya
  • Skrining pada semua kantong donor darah
  • Wanita dengan HIV positif sebaiknya jangan/tidak hamil (untuk mencegah penularan penyakit ini kepada bayi)
  • Selalu pakai Kondom untuk kelompok dengan resiko tinggi..
  • Tidak kalah pentingnya adalah bentengi diri dengan Iman (keyakinan penuh terhadap Tuhan yang Maha ESA) bahwa semua perbuatan melakukan hubungan seksual diluar nikah adalah dosa. 

disarikan dari berbagai sumber:
http://ayahama.com
http://channel.dat.net

Jumat, 25 November 2011

Pengkajian Pada Sistem Muskuloksletal



A.     Pengkajian fisik system musculoskeletal
Pengkajian fisik sistem muskuloskeletal terdiri dari :
1.      Kemampuan dasar fungsional.
2.      Inspeksi dan palpasi.
Untuk mengetahui integritas tulang, postur, fungsi sendi, kekuatan otot, cara berjalan dan kemampuan pasien melakukan aktivitas sehari-hari.
3.      Perkusi dan auskultasi.
Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya cairan dalam rongga sendi dan auskultasi dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan pada vaskuler dan krepitasi.
B.      Pengkajian skelet tubuh
Skelet tubuh dapat dikaji dengan adanya deformitas dan kesejajaran. Pertumbuhan tulang yang abnormal akibat tumor tulang dapat dijumpai. Pemendekan ekstremitas, amputasi dan bagian tubuh yang tidan sejajar dalam kondisi anatomis harus dicatat.
Angulasi abnormal pada tulang panjang atau gerakan pada titik selain sendi menunjukkan pataha tulang. Biasanya terjadi krepitus (suara berderik ) pada titik gerakan abnormal. Gerakan fragmen tulang harus diminimalkan untuk mencegah cedera lebih lanjut.


C.      Mengkaji tulang belakang
Kurvatura normal tulang belakang konveks pada bagian dada dan konkaf pada sepanjang leher dan pinggang.
Deformitas tulang belakang meliputi : scoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang), kifosis (kenaikan kurvatura lateral tulang belakang bagian dada), lordosis ( membebek, kurvatura tulang belakang bagian pinggang yang berlebihan). Kifosis terjadi pada pasien osteoporosis pada pasien neuromuscular.
Skoliosis terjadi congenital, idiopatrik (tidak diketahui penyebabnya) atau akibat kerusakan otot paraspinal misalnya pada poliomyelitis.
Lordosis dijumpai pada penderita kehamilan karena menyesuaikan postur tubuhnya akibat perubahan pusat gaya beratnya.
Pemeriksaan kesimetrisan dilakukan dengan memeriksa kurvatura tulang belakang dan kesimetrisan batang tubuh dari pandangan anterior, posterior dan lateral. Dengan cara berdiri di belakang pasien, dan memperhatikan perbedaan tinggi bahu dan krista iliaka. Lipatan bokong normalnya simetris. Simetri bahu dan pinggul serta kelurusan tulang belakang diperiksa dengan pasien berdiri tegak,  dan membungkuk ke depan (fleksi). Skoliosis ditandai dengan  abnormal kurvatura lateral tulang belakang, bahu yang tidak sama tinggi, garis pinggang yang tidak simetri dan scapula yang yang menonjol, akan lebih jelas dengan uji membungkuk kedepan. Lansia akan mengalami kehilangan tinggi badan karena hilangnya tulang rawan dan tulang belakang.

D.     Mengkaji sistem persendian
Sistem persendian dievaluasi dengan memeriksa luas gerakan, deformitas, stabilitas dan benjolan.
Luas gerakan dievaluasi secara aktif (sendi digerakkan oleh otot sekitar sendi dan pasif dengan sendi digerakkan oleh pemeriksa). Luas gerakan normal sendi-sendi besar menurut American Academy of Orthopedic Surgeons diukur dengan goniometer (busur derajat yang dirancang khusus untuk mengevaluasi gerakan sendi). Bila suatu sendi di ekstensi maksimal namun terdapat sisa fleksi, dikatakan bahwa luas gerakan terbatas. Yang disebabkan karena deformitas skeletal, patologi sendi atau kontraktur otot dan tendo disekitarnya. Pada lansia penurunan keterbatasan gerakan yang disebabkan patologi degeneratif sendi dapat berakibat menurunnya kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari. Inspeksi persendian dan bandingkan secara bilateral. Harusnya didapat kesimetrisan tanpa kemerahan, pembengkakan, pembesaran / deformitas. Palpasi sendi dan tulang untuk mengetahui edema dan tenderness. Palpasi sendi selama gerakan untuk mengetahui adanya krepitasi. Sendi harusnya terasa lembut  saat bergerak dan tidak ada nodul.
Deformitas sendi disebabakan oleh kontraktur (pemendekan struktur sekitar sendi), subluksasi (lepasnya sebagian  permukaan sendi atau distrupsi struktur sekitar sendi, dislokasi (lepasnya permukaan sendi). Kelemahan atau putusnya struktur penyangga sendi dapat menakibatkan sendi terlalu lemah untuk berfungsi normal, sehinga memerlukan alat penyokong eksternal ( misalnya brace).
Jika sendi terasa nyeri periksa adanya kelebihan cairan pada kapsulnya (efusi), pembengkakan, dan peningkatan suhu, yang mencerminkan inflamasi aktif. Kita dapat mencurigai adanya effuse jika sendi mebengkak,ukurannya dan tonjolan tulangnya samar. Tempat tersering terjadi efusi adalah lutut. Bila hanya ada sedikit cairan pada rongga sendi di bawah tempurung lutut dapat diketahui dengan maneuver : aspek lateral dan medial lutut dalam dalam keadaan ekstensi dapat diurut dengan kuat kearah bawah. Gerakan tersebut akan menggerakkan cairan kearah bawah. Begitu ada tekanan dari sisi lateral dan medial pemeriksa akan melihat benjolan disisi lain dibawah tempurung lutut.

E.      Mengkaji sistem otot
Dengan memperhatikan kemampuan merubah posisi, kekuatan otot dan koordinasikan ukuran otot. Kelemahan otot menunjukkan polineuropati, gangguan elektrolit (kalsium dan kalium), miastenia grafis, poliomyelitis, distrofi otot. Dengan palpasi otot saat ekstremitas relaks digerakkan secara pasif akan terasa tonus otot. Mengkaji kekuatan otot dilakukan dengan palpasi otot dan ekstremitas yang digerakkan secara pasif dan rasakan tonus otot. Ukuran kekuatan otot dengan gradasi dan metode berikut :
0 (zero)   : Tidak ada kontraksi saat dipalpasi, paralysis.
1(trace)  : Terasa adanya kontraksi otot tetapi tidak ada gerakan.
2(poor)   : Dengan bantuan atau menyangga sendi dapat melakukan ROM secara penuh.
3(fair)     : Dapat melakukan  ROM secara penuh dengan dengan melawan gravitasi tetapi tidak dapat melawan tahanan.
4(good)   :  Dapat melakukan ROM secara penuh dan dapat melawan tahanan yang sedang.
5(normal): Gerakan ROM penuh dengan melawan gravitasi dan tahanan.
Klonus otot (kontraksi ritmik otot) dilakukan dengan dorsofleksi mendadak. Fasikulasi (kedutan kelompok otot tertentu secara involunter).
Gambar Illustrasi

F.       Mengkaji cara berjalan
Pengkajian dilakukan dengan meminta pasien berjalan dari tempat pemeriksa sampai seberapa jauh, pemeriksa memperhatikan cara berjalan, kehalusan dan irama. Gerakan yang tidak teratur dan regular ( lansia) dianggap abnormal. Bila pincang kemungkinan karena nyeri akibat menyangga beban tubuh dan dari kasus ini pasien menunjukkan lokasi rasa tidak nyaman, untuk mengarahkan pemeriksaan selanjutnya. Bila ekstremitas yang satu lebih pendek dari ekstremitas yang lain terlihat pincang saat pelvis pasien turun ke bawah, disisi yang terkena, setiap kali melangkah. Keterbatasan gerak sendi mempengaruhi cara berjalan.
Kondisi neurologis yang mengakibatkan cara berjalan abnormal misal cara berjalan spastic hemiparesis pada pasien stroke, cara berjalan selangkah-selangkah pada pasien lower motor neuron, cara berjalan bergetar pada pasien parkinson.
Gambar Ilustrasi


G.     Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer
Mengkaji kulit dengan menginspeksi kulit dan palpasi kulit apakah tersa dingin atau panas?, apakah ada edema?. Mengkaji sirkulasi perifer dengan mengkaji denyut perifer, warna, suhu,waktu pengisian kapiler. Adanya luka, memar, perubahan warna kulit, penurunan sirkulasi perifer dan adanya infeksi akan mempengaruhi penatalaksanaan keperawatan.

sumber:
Depkes RI, Asuhan Keperawatan sistem muskuloskeletal
Doenges, (2005) Rencana Asuhan Keperawatan

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Epilepsi


Konsep Dasar Epilepsi
1. Arti Epilepsi
            Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan serangan, berulang ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat reversible dengan berbagai etiologi.
           
            Serangan adalah suatau gejala yang timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba pula.

2. Faktor Presipitasi
            Faktor Presipitasi adalah faktor yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu:
  1. Faktor sensoris            : cahaya yang berkedap-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air panas.
  2. Faktor sistemis            : demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya golongan fenoliazin, klorpropamid, hipoglikeumia, kelelahan fisik.
  3. Faktor mental              : stres, gangguan emosi.

3 Etiologi
a. Idiopatik            :sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsi idiopatik.
b. Faktor herediter  :ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai bangkitan kejang seperti sklerosis liberosa, neurofikromatosis, angiomomatosis ensefarotrigeminal, fenilketunoria, hipoparatiradisme, hipoglikeumia.
c. Faktor Genetik    :pada kejang demam dan breath holding spell
d. Kelainan konginetal otak :atrofi, forensafali, agenesis korpus kolosum
e. Gangguan  metabolik :hipoglikeumia, hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia.
f. Infeksi  :radang yang disebabkan bakteri atau virus pada oto dan selaputnya, foksoplasmosis
g. Trauma  :kontusioserebri, hemaloma subaraknoid, hemaloma subdural.
h. Neoplasma otak dan selaputnya
i. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen.
j. Keracunan    :timbal (PB), kamper (kapur barus) fenotiazin, air.
k. Lain-lain  :penyakit darah, gangguan keseimbangan hormon , degenerasi serebral dan lain-lain

4. Patofisiologi
            Secara umum, epilepsi terjadi arena menurunnya potensial membran sel saraf akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik atau tosik, yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut. Penimbunan acetilkolin setempat harus mencapai konsentrasi tertentu untuk dapat merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi.
            Pada epilepsi (diopatik, tipe grand mal, secara primer muatan listrik dilepaskan oleh nuklea intralaminares talami. Input dari vortex selebri melalui lintasan aferen aspesifik itu menentukan dengan kesadaran bila mana sama sekali tidak ada input maka timbulah koma.
            Pada grand mal, oleh karena sebab yang belum dapat dipastikan, terjadilah lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminan talamik secara berlebihan. Perangsanagn talamortikalyang berlebihan ini menghasilkan kejang seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi sel-sel saraf yang memelihara kesadaran menerima imfulse aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang

5 Manifestasi Klinis

            Epilepsy (ILAE) tahun 1981, klasifikasi epilepsi sebagai berikut :
I. Sawan Parsial (Fokal, lokal)
A.    Sawan Parsial Sederhana, sawan parsial dengan kesadaran tetap normal
1. Dengan gejala motorik
a.       Fokal motorik tidak menjalar ; sawan terbatas pada satu bagian tubuh.
b.      Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari bagian tubuh dan menjalar meluas kedaerah lain.

2. Dengan gejala somatosensoris : sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigi
a.       Somatosensoris : timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
b.      Visual : terlihat cahaya
c.       Diserti Vertigo
3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (Sensasi efigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil)
4. Dengan gejala psikis
    1. Disfasia           : gangguan bicara misalnya mengulang suku      kata, kata atau bagian klimat.
    2. Disemnesia ; gangguan proses ingatan misalnya seperti sudah mengalkami, mendengar, melihat atau sebaliknya tidak pernah mengalami
    3. Kognitif : gangguan orientasi waktu, meras diri berubnah
    4. Apektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut
    5. Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar
    6. Halusinasi : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu penomena tertentu dan lain-lain

B. Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
1.      Serangan Parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : keasadaran mula-mula baik kemudian menurun
b.Dengan gejala parsial sederhana
c. Dengan automatisme, yaitu gerakan-gerakan, prilaku yang timbul dengan sendirinya
2.Dengan penurunan kesadaran sejak serangan, kesadaran menurun sejak permulaan serangan.
a.       Hanya dengan penurunan kesadaran
b.      Dengan automatisme

C. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (Tonik klonik, tonik, klonik)
1.      Sawan parsial sederhana yang berkembang menjasdi bangkitan umum
2.     Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi nbangkitan umum
3.    Sawan parsial sedrhan yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
4.      Sawan Umum (Konvulsif atau nonkonvulsif)


II. Sawan Umum
A.1. Sawan Lena (Absance)
      Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar keatas, tidak ada reaksi bila diajak bicara.
2. Lena Tak Khas
      Dapat disertai,
a.       Gangguan tonus yang lebih jelas
b.      Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak

B. Sawan Mioklonik
            Terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot. Otot, sekali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumapai pada semua umur

C. Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot. Dijumpai terutama sekali pada anak-anak

D. Sawan Tonik
            Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, oto-otot hanya menjadi kaku, juga terdapat pada anak

E. Sawan Tonik Klonik
            Sawan ini sering dijumpai pada umur diatas balita yang terkenal dengan nama grand mal
Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan.

F. Sawan Atonik
            Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh, kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak-anak




III. Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, megunyah-ngunyah gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernafasan yang mendadak terhenti sementara.


 B. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN EPILEPSI



1. Pengkajian
1). Riwayat Penyakit
            Manifestasi klinis epilepsi berpariasi tergantung pada keterbatasan ADL atau aktifitas sehari-hari yang terganggu.
            Tanyakan faktor presipitasi dan mekanisme koping yang digunakan
2). Kaji umur, jenis kelamin, dan riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
3). keluhan utama mencakup :
-   Kejang
-    Resiko injuri
-     Jalan nafas tidak efektif
4). Pemeriksaan fisik
-          Amati penampilan umum klien ; yang meliputi keadaan umumdan kesadaran
-          Kaji TTV klien
-          Kaji sistem integumen klien yang meliputi kuku, kulit, rambut, dan wajah
-          Kaji sitem pulmonary
-          Kaji sistem kardiovaskular
-          Kaji gastrointestiral
-          Kaji metabolik
-          Kaji sistem neurologi
-          Kaji sistem miskulos keletal
-          Kaji sistem reproduksi
-          Data penunjang :         Pemeriksaan hematologi dan serologi
Pencitraan CFT
EEG® Type kejang

2. Diagnosa Keperawatan
            Diagnosa keperawatan utama yang dapat dijumpai pada klien dengan epilepsi, yaitu :
1).      Gangguan rasa nyaman : ketakutan sehubungan dengan kemungkinan yang terjadi setelah kejang
2).      Koping tidak efektif sehubungan dengan stres
3).      Kurangnya pengetahuan tentang epilepsi

3. Perencanaan Keperawatan
  • Diagnosa  : gangguan rasa nyaman : ketakutan sehubungan dengan kemungkinan yang terjadi setelah kejang
Tujuan : mengurangi rasa takut terhadap kejang
-                      Dorong klien untuk mematuhi terapi yang dijalani sehingga meningkatkan kesadaran klien dalam menjalani terapi
-                      Kontril kejang dan kerja sama dengan klien dan keluarga untuk mengenali dan menghindari faktor presifikasi
-                      Atur dan anjurkan gaya hidup teratur, reguler seperti diet, latihan, istirahat, aktifitas
-                      Hindari stimulasi fotik

·         Diagnosa  : Koping tidk efektif sehubungan dengan stres
Tujuan : Memperbaiki mekanisme koping
Intervensi keperawatan
-      Diskusikan dengan klien dan keluarga untuk membantu klien memahami kondisi dan keterbatasan

·        Diagnosa : Kurangnya pengetahuan tentang epilepsi
Tujuan :
Intervensi keperawatan
- Anjurkan klien untuk selalu memakai atau membawa tanda tertentu yang menjelaskan bahwa klien pasien epilepsi.
-   Anjurkan Klien untuk selalu merawat kebersihan mulut terutama pasien yang menggunakan fenitoin
-   Beritahu atau informasikan tentang pengetahuan atau informasi epilepsi

4. Evaluasi
            Hasil yang diharapkan setelah dilakukan intervensi perawatan, diantaranya :
  1. )Jalan nafas kembali efektif
  2. )Tidak terjadi cedera
  3. )Mempertahan kan kontrol kejang
    1. Mengikuti program pengobatan dan mengidentifikasi bahaya obat
    2. Mengidentifikasi bahaya obat
    3. Dapat menghindari faktor atau situasi yang dapat menimbulakn kejang
    4. Mengikuti gaya hidup hemat
  4. )Meningkatnya penyesuaian psikososial dengan mendiskusikan perasaan
  5. )Meningkatkan pengetahuan dan pengertian tentang epilepsi
  6. )Bebas dari kejang dan komplikasi status epileptikus
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...